Selasa, 17 Maret 2009

Konformitas dalam Pendidikan: Contoh kasus

Dalam hubungan pendidikan, konformitas terjadi pada peserta didik sebagai hasil pengaruh dari pendidik. Peserta didik si satu pihak sebagai orang yang dipengaruhi dan di pendidik di pihak lain sebagai orang yang mempengaruhi. Dengan demikian, konformitas ini penting artinya dalam proses pendidikan karena peserta didik perlu berkonformitas terhadap pendidik yang mempengaruhinya. Pendidikan sangat berkepentingan agar peserta didik mau berkonformitas terhadap pendidiknya karena tanpa konformitas tidak mungkin akan terjadi proses pendidikan. Tipe-tipe konformitas apa yang terjadi pada peserta didik terhadap pendidiknya bergantung kepada pendidik itu sendiri dan proses pembelajaran, apakah tipe konformitas “Membabi Buta”, konformitas “Identifikasi” atau konformitas “Internalisasi”?

Menurut Prayitno(2008), ada tiga tipe konformitas, yaitu konformitas membabi buta, konformitas identifikasi, dan konformitas internalisasi. Secara garis besar ketiga konformitas adalah sebagai berikut:

Konformitas Membabi buta

  • Pendidik memposisikan diri sebagai penguasa yang memberikan sanksi, mengancam dan menghukum peserta apabila melanggar aturan atau tidak mengikuti kehendak guru.
  • Memberikan imbalan / hadiah semata-mata untuk membina kepatuhan peserta didik
  • Situasi pendidikan yang tercipta adalah situasi otoriter yang membentuk manusia dengan pribadi pasrah, patuh, penurut, dan takluk kepada penguasa (pendidik). Mengasingkan orang-orang yang kreatif, berpendirian dan mandiri

Konformitas Identifikasi

  • Pendidik yang kharismatik memungkinkan tercipta suasana pendidikan yang diterima oleh peserta didik. Mereka senang, merasa diterima dan diayomi dan hubungan keduanya dapat makin dekat.
  • Pendidik kharismatik menanamkan kebenaran, ilmu dan pengetahuan, dan lain sebagainya kepada peserta didik
  • Situasi pendidikan yang tercipta membius peserta didik ke arah genggaman erat pendidik yang bisa menghambat kedirian dan kemandirian peserta didik.

Konformitas Internalisasi

  • Pendidik bersifat humanis-demokratik menekankan konformitas internalisasi bagi peserta didiknya.
  • Pendidikan mendorong berkembangnya kemampuan yang ada pada diri peserta didik. Situasi pendidikan mendorong dan menyerahkan kesempatan pengembangan kedirian peserta didik kepada peserta didik sendiri. Pengembangan kebebasan disertai dengan pertimbangan rasional, perasaan, nilai dan sikap, ketrampilan dan pengalaman diri peserta didik

Kasus
Seorang guru menetapkan disiplin masuk kelas kepada siswanya sebagai berikut: Jika murid terlambat lima menit, maka si murid dilarang masuk dan jika dia yang terlambat, maka dia yang tidak masuk kelas. Beberapa Minggu berlangsung dengan baik, tetapi suatu ketika di salah satu kelas terjadi tragedi. Ketika guru itu sudah masuk kelas, murid-murid masih belum ada yang masuk. Waktu lima menit pun telah lewat dan akhirnya ketika murid masuk, semua kena marah dan guru pun berlalu keluar kelas dengan nada kesal. Minggu berikutnya guru tidak mau masuk kelas dan murid-murid pun tidak peduli. Sang guru pun semakin marah dan dia bersikeras untuk tidak mau mengajar lagi di kelas itu. Kepala sekolah turun tangan membujuk agar mau masuk kelas lagi, tetapi gagal sang guru bersikeras bertahan dengan pendiriannya, Akhirnya murid-murid kelas itu tidak mendapatkan pelajaran selama enam bulan dan mereka belajar sendiri.

Analisis kasus

  • Kasus ini mengarah kepada konformitas membabi buta. Siswa oleh guru dituntut untuk disiplin ketika masuk kelas saat mata pelajarannya, dengan cara menetapkan secara paksa aturan tersebut. Guru memposisikan sebagai penguasa yang harus dipatuhi, Dia dapat memperlakukan peserta didiknya sesuai keinginanya.
  • Situasi pendidikan pun akhirnya tidak terlaksana karena sang guru menghukum peserta didiknya dengan tidak masuk kelas itu lagi selama berbulan-bulan. Hal ini jelas sangat merugikan siswa, sehingga tidak ada hubungan lagi antara pendidik, peserta didik, tujuan pendidikan dalam proses pembelajaran.
  • Konformitas membabi buta lainnya yang mungkin terjadi, antara lain:
    • Peraturan tata tertib sekolah disertai sanksinya, mulai sanksi ringan, skorsing, hingga dikeluarkan dari sekolah.
    • Peserta didik dituntut untuk rajin belajar, mengerjakan tugas-tugas, mengikuti tata tertib kelas, tidak menyontek, dan sebagainya yang apabila melanggarnya/tidak mengindahkannya siswa tersebut dianggap tidak patuh kepada aturan atau pendidik.
    • Untuk meningkatkan kepatuhan peserta didik, sekolah memberikan imbalan/hadiah misalnya kepada kelas yang yang paling bersih melalui perlombaan, melakukan razia tas, rambut dan lainnya disertai sanksi.
    • Peserta didik kelas IX dipaksa untuk mengikuti program persiapan UN demi untuk mengejar prestasi dan prestise sekolah, sekali pun mengorbankan kepentingan peserta didik.
    • Sekolah memperketat kenaikan kelas VII dan VIII semata-mata untuk mengurangi jumlah siswa yang tidak lulus UN. Dan yang kemungkinan terancam tidak naik kelas ditawari untuk pindah sekolah.

Keharusan Guru sebagai Pendidik

Berkaitan dengan kasus di atas, yang seyogyanya dilakukan guru sebagai pendidik:

  • Konformitas yang harus ditegakkan adalah konformitas internalisasi. Seharusnya pendidik tidak menetapkan disiplin kaku seperti ini. Jika guru memiliki keteladanan dalam kedisiplinan, itu sudah cukup memberikan pengaruh positif kepada peserta didik untuk disiplin. Kalau ada siswa yang terlambat, pendidik dapat memberikan Tindakan Tegas yang Mendidik
  • Tugas guru mestinya menciptakan situasi pendidikan yang didasarkan pada hubungan ketiga komponen pendidik, peserta didik, tujuan pendidikan dalam proses pembelajaran yang penuh dengan muatan HMM.
  • Perlakuan pendidik yang seharusnya humanis-demokratis, yaitu memperlakukan peserta didik sesuai konsep HAM dan HMM. Oleh karena itu pendidik harus menciptakan situasi pendidikan yang dapat mendorong dan menyerahkan kesempatan pengembangan kedirian peserta didik kepada peserta didik sendiri. Kalau ini yang dipraktikan, maka konformitas internalisasi dapat diwujudkan.

Daftar Bacaan

Prayitno (2008), Dasar Teori dan Praktis Pendidikan, Padang: Universitas Negeri Padang.

Guru Killer: menciptakan situasi pendidikan?

Guru killer. Tahukah siapa guru killer? Mereka pembunuh, mengapa? Mereka mematikan potensi anak.

Situasi yang diciptakan Guru Killer
  • Relasi antara pendidik dengan peserta didik memang merupakan prasyarat terjadinya situasi pendidikan, tetapi hubungan itu tidak menjamin kepastian tumbuh-kembangnya situasi pendidikan. Pada banyak kasus dapat diketahui bahwa hubungan yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik dapat menimbulkan situasi yang bertentangan dengan makna dan tujuan pendidikan, antara lain: pelecehan, penghinaan, persaingan, penghisapan, permusuhan, dan sebagainya
  • Perlakukan pendidik terhadap peserta didik bertentangan dengan konsep HAM dan HMM. Apa yang dilakukannya malah dapat membunuh atau mematikan potensi peserta didik, seperti:
    • Pendidik memberikan “cap” atau “label” kepada peserta didik, seperti: tolol, bodoh, ndablek, bloon, dasar bego, nakal, dan lainnya.
    • Pendidik/sekolah, misalnya membagi kelas pintar, kelas sedang, dan kelas bodoh untuk mempermudah pemberian perlakukan kepada peserta didik.
    • Pendidik kurang menghargai gagasan-gagasan peserta didik.
    • Pendidik menekankan pada hasil daripada proses
    • Pendidik menciptakan lingkungan yang kurang bersahabat, penuh ancaman, dan suasana tidak menyenangkan.
    • Pendidik memaksakan pendapat, pandangan, atau nilai-nilai tertentu kepada anak
    • Pendidik mengeksplorasi segi-segi kelemahan yang dimiliki anak.

Kajian Teoritis

  • Situasi pendidikan adalah kegiatan pendidikan yang berlangsung dalam hubungan pendidikan. Kegiatan pendidikan yang terlaksana dalam situasi pendidikan merupakan peristiwa yang istimewa dan unik untuk kepentingan peserta didik yang sedang mengembangkan dirinya.
  • Pendidik memandang dan memperlakukan peserta didik sebagai manusia berderajat paling tinggi dan paling mulia di antara makhluk-makhluk lainnya dengan HMM dan HAM yang penuh. Meskipun individu yang satu berbeda dengan individu yang lain.
    Situasi pendidikan mengandung komponen peserta didik, pendidik, tujuan pendidikan, dan proses pembelajaran. Keempat komponen itu sarat dengan unsur HMM dengan kandungan hakekat manusia, lima dimensi kemanusiaan, dan pancadaya.
  • Proses pembelajaran dengan perangkat pendidikannya merupakan landasan atau wahana dengan muatan pendidikan yang terselenggarakan demi pengembangan secara utuh hakikat menusia dengan kelima dimensi kemanusiaan dan pancadaya peserta didik. Perangkat pendidikn tersebut didasarkan pada dua pilar yaitu kewibawaan dan kewiyataan.
    (Prof. Prayitno, 2008)

Situasi Pendidikan yang seharusnya

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka situasi yang seharusnya diciptakan guru adalah situasi pendidikan sebagai berikut:

  • Kegiatan pendidikan yang terlaksana dalam situasi pendidikan seharusnya merupakan peristiwa yang istimewa dan unik untuk kepentingan peserta didik yang sedang mengembangkan dirinya.
  • Perlakukan pendidik yang seharusnya yaitu memperlakukan peserta didik sesuai konsep HAM dan HMM (Harkat dan martabat manusia). Beberapa perlakuan yang dapat menumbuhkan potensi peserta didik mencapai kedirian dan kemandiriannya:
    • Berusaha untuk tidak memberikan label kepada peserta didik.
    • Pembagian kelas berdasarkan pengelompokkan kelas pintar, sedang, dan bodoh harus dihindari. Pembagian kelas diusahakan normal untuk setiap kelasnya.
    • Pendidik berusaha tidak memberikan hukumaan atau celaan terhadap gagasan atau ide baru yang dirasa aneh dari siswa. Gagasan peserta didik harus dihargai bahkan diberikan kesempatan untuk mewujudkan gagasan-gasannya.
    • Pendidik harus melihat keberhasilan pendidikan baik ari hasil maupun proses pembelajaran
    • Pendidik menciptakan lingkungan yang bersahabat, bebas, dan suasana yang lebih menyenangkan.
    • Pendidik tidak memaksakan pendapat, pandangan, atau nilai-nilai tertentu. Bahkan pendidik menciptakan pelayanan pembelajaran yang menjadikan siswa merasa bebas mengemukakan fikiran dan pendapat.
    • Pendidik berusaha mengeksplorasi segi-segi positif yang dimiliki anak dan bukan sebaliknya mencari-cari kelemahan anak.
Daftar Bacaan
Prayitno (2008), Dasar Teori dan Praktis Pendidikan, Padang: Universitas Negeri Padang.

Ujian Nasional dipandang dari Pendidikan & Kemanusiaan

Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMP, SMA/SMK, dan MA tahun pelajaran 2008/2009 usai sudah. Hasilnya pun sudah diketahui publik. Ada yang senang, ada juga yang sedih. Fenomena ini terjadi berlangsung setiap tahun karena sudah menjadi rutinitas tahunan. Persoalannya sekarang, benarkah UN berdampak positif bagi peningkatan mutu pendidikan? Atau berdampak sebaliknya dilihat dari sisi kemanusiaan dan pendidikan ?


UN berdampak menurunkan harkat dan martabat manusia

  • Adanya Tim sukses UN yang dibentuk untuk mensukseskan UN di lingkungannya. Namun upaya yang dilakukan bukan hanya meningkatkan mutu siswa melainkan dengan berbagai upaya lain yang cenderung menurunkan martabat kemanusiaan.
  • Ditemukan pelanggaran oleh guru telah merendahkan martabat guru itu sendiri di mata siswa dan masyarakat.
  • Ditemukan keganjilan menjelang pengumuman, berupa adanya pertemuan antara dinas pendidikan propinsi yang bertanggung jawab mengurusi nilai dengan kepala-kepala sekolah.
  • Adanya pelanggaran perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UN. Majelis Hakim (PN) Jakarta Pusat memenangkan gugatan kebijakan ujian nasional (UN). Dalam putusan itu majelis hakim menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara. Tak tanggung-tanggung putusan tersebut menyatakan bahwa presiden, wapres, mendiknas, serta ketua badan Standarisasi Pendidikan Nasional sekaju tergugat telah lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UN.
  • Kondisi tersebut mebuktikan bahwa ternyata ada ketimpangan dan ketidakberesan pada proses UN yg selama ini berlangsung. Ketidakberesan UN justru dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya siswa menjadi korban. Tak hanya itu UN ternyata tidak menjadikan mutu pendidikan lebih baik. Bahkan UN telah menjadi “kepanikan nasional” yang berefek pada penurunan standar dan mutu lulusan.

Pendidikan yang memuliakan manusia untuk mengisi dimensi kemanusiaan melalui pengembangan panca daya tidak tercapai karena hanya dimensi tertentu dan daya tertentu saja yang dicapai yakni dimensi keindividualan dan daya cipta

  • Adanya kepanikan sekolah, yang berdampak muatan kurikulum tidak tercapai karena sekolah harus menyiapkan siswa menghadapi UN. Beberapa gejalanya: mata pelajaran yang tidak di-UN-kan dipercepat dan sisa jamnya dipakai untuk persiapan UN. Proses Pembelajaran pun praktis menjadi ruang bimbingan belajar/tes dengan soal latihan dan pembahasan serta try-out soal-soal UN.
  • Proses pembelajaran untuk mengisi kelima dimensi kemanusiaan melalui pengembangan panca daya praktis terabaikan. Sekolah fokus pada persiapan UN. Pembelajaran hanya menjadikan siswa penghafal kelas wahid. Sekolah terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak ”membumi”, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Anak-anak digiring ke dalam ruang karantina untuk ”dicekoki” berbagai soal yang diperkirakan akan muncul dalam ujian. Mereka diperlakukan bagaikan ”keranjang sampah” yang harus menampung semua tumpahan hafalan teori dan rumus dari sang guru. Siswa semakin kehilangan sentuhan problem riil yang dihadapi bangsa dan masyarakatnya saat-saat mendekati ujian nasional atau “buta” terhadap persoalan sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan yang mencuat di atas panggung realitas kehidupan.
  • Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari ”tekanan” kepala sekolah demi menjaga gengsi dan citra sekolah. Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan yang dimiliki kepada siswa didik dalam menghadapi ujian. Imbasnya, dunia persekolahan kita dinilai hanya mampu melahirkan output pendidikan berjiwa kerdil, tidak responsif, mau menang sendiri, keras kepala, dan kehilangan sifat-sifat kemanusiawian yang lain, juga membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, demokratis, dan responsif.
  • UN selama ini masih diyakini oleh para guru sebagai tujuan dan sasaran akhir kelulusan siswa. Guru akan dianggap sukses dan bergengsi jika berhasil membawa siswanya menuju “terminal” akhir kelulusan dan akan divonis telah gagal menjalankan tugas apabila banyak siswanya yang “ndhongkrok” alias tidak lulus. Itulah sebabnya, banyak guru yang merasa “alergi” ketika ditawari untuk mengajar di kelas terakhir atau kelas III. Mereka merasa lebih nyaman dan tanpa beban jika mengajar di kelas I atau II. Sebaliknya, guru yang mengajar di kelas III sering kali harus “senam jantung” dan stres, terutama saat-saat mendekati ujian.
  • Untuk mempertahankan gengsi, guru di kelas terakhir sering kali menempuh berbagai cara agar siswanya bisa lulus dengan prestasi yang baik; entah dalam bentuk les, pemadatan materi, atau drill soal-soal. Semakin banyak “dicekoki” soal-soal UN tahun sebelumnya, siswa dianggap dalam kondisi “siap tempur” menghadapi UN. Tak ayal lagi, suasana pembelajaran semacam itu semakin jauh dari nilai-nilai edukatif dan makin kering dari sentuhan problem-problem sosial yang mestinya “dibumikan” dan diakrabkan dalam dunia peserta didik. Bahkan, praktik pendidikan semacam itu dinilai sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum (curriculum contraction).
  • Salah satu penyebab tercerabutnya problem sosial dalam dunia persekolahan kita adalah kehadiran soal-soal UN dari tahun ke tahun yang antirealitas, (nyaris) tak pernah menyentuh persoalan-persoalan sosial yang mampu menantang dan menggugah siswa untuk berolah pikir dan berolah rasa. Mereka tidak pernah ditradisikan dan dibudayakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis berbagai persoalan sosial dan kebangsaan yang muncul secara riil di atas panggung kehidupan sosial. Generasi muda bangsa ini tampaknya sengaja “dimandulkan” dari karakter kreatif dan demokratis agar kelak menjadi generasi “robot” yang gampang dikendalikan oleh pihak penguasa. Bagaimana mungkin bisa menjadi generasi kreatif dan demokratis kalau mereka tidak pernah ditradisikan untuk berpikir terbuka, dialogis, dan kritis? Bagaimana mungkin anak-anak bangsa ini bisa berpikir terbuka, demokratis, dan kritis kalau UN hanya menampilkan soal-soal pilihan ganda yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan daya nalar dan daya kritisnya?
  • UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan –meminjam istilah Syamsir Alam (2005)– tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembinaan, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat UN hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati. Selain itu, instrumen UN –soal-soal pilihan ganda, misalnya– yang digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut pembuktian, khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN. Sudah benar-benar sahihkah instrumen UN tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan siswa yang sesungguhnya? Bisakah soal-soal pilihan ganda yang dinilai telah “mereduksi” makna kurikulum dijadikan sebagai satu-satunya instrumen untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan?
  • Fakta menunjukkan, selama ini belum semua kompetensi siswa bisa terpotret melalui UN. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs, misalnya, salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah mampu mendengarkan berbagai ragam wacana lisan untuk memahami gagasan, pandangan, dan perasaan orang lain secara lengkap dalam wacana yang berbentuk berita, wawancara, laporan, ceramah/khotbah, pidato, ceramah, pembacaan teks sambutan, dan dialog, serta mampu memberikan pendapat. Bagaimana mungkin kompetensi semacam itu bisa diukur secara sahih hanya melalui soal-soal pilihan ganda?

Keharusan

  • Kelulusan siswa ditentukan oleh seluruh mata pelajaran yang diajarkan sesuai dengan kurikulum. UN bukan penentu nasib siswa “lulus” atau “gagal”. Kelulusan menjadi bagian otonomi sekolah.
  • Untuk mengeliminasi dampak negatif UN, semestinya UN ditiadakan dan mengubah paradigma peningkatan mutu pendidikan melalui UN dengan paradigma baru yaitu peningkatan mutu pelayanan sekolah dalam rangka pengembangan potensi peserta didik karena pendidikan merupakan upaya memuliakan kemanusiaan manusia untuk mengisi dimensi kemanusiaan melalui pengembangan pancadaya secara optimal dalam rangka mewujudkan jati diri manusia sepenuhnya.
  • Pemerintah seharusnya menjadi pelindung hak-hak warganegara dalam pendidikan bukan justru sebaliknya melanggar hak-hak pendidikan.
  • Kalaupun UN tetap dipertahankan, maka dalam prakteknya tidak boleh mengorbankan peserta didik. Maka, perlu dipikirkan upaya serius untuk mewujudkan UN yang benar-benar mampu memotret kompetensi siswa sekaligus mampu menjadi pengendali mutu pendidikan secara nasional. Paling tidak, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu dilakukan agar UN benar-benar mampu menjadi “therapi kejut” dalam upaya memicu peningkatan mutu pendidikan.
    1. soal-soal UN harus mampu memotret kompetensi siswa secara utuh dan komprehensif.
    2. tindak tegas pihak-pihak tertentu yang nyata-nyata terbukti melakukan kecurangan dan pelanggaran terhadap pelaksanaan UN.
    3. harus ada sinergi antara UN dan praktik pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Diakui atau tidak, UN yang berlangsung selama ini telah menjadi penghambat serius bagi para guru yang ingin melibatkan siswa secara intens dan total dalam praktik
      pendidikan yang dialogis, terbuka, dinamis, menarik, dan menyenangkan melalui
      sajian materi yang menantang dan menggugah kesadaran mereka terhadap
      persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Namun,
      idealisme guru semacam itu terpaksa terbonsai akibat munculnya soal-soal UN yang
      sarat hafalan teori dan miskin daya nalar.
  • Memasukkan soal-soal esai dalam UN yang mampu membudayakan siswa berpikir secara cerdas dan kritis. Harus ada kemauan politik bagi pengambil kebijakan UN untuk melakukan hal ini sebab sudah kita ketahui apa keunggulan soal essay dibandingkan PG dalam membentuk pribadi siswa yang kritis dalam memecahkan problema-problema soasial, kemanusiaan, dan kebangsaan.

UNTUK MEMBUKA BLOG MATA PELAJARAN, SILAKAN KLIK PHOTO GURU YANG MENGAJAR MATA PELAJARAN TERKAIT. SMP YPK TERDEPAN DALAM PRESTASI

TRANSLATE

BACA QUR'AN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates