by Anan Z A
Afan Gaffar (1999) mengklasifikasikan karakteristik demokrasi sebagai berikut: akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutment politik yang terbuka, dan pemilu yang teratur.
Karakteristik Demokrasi | Deskripsi | Opini |
1. Akuntabilitas | Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan apa yang telah ditempuhnya. | · Manakala penyelenggaran/ pemerintah Negara memiliki akuntabilitas yang tinggi, ia tidak marah kalau dikontrol/dikritik/saran. · Dalam pemerintahan kita, misalnya pada masa kejayaan ORBA, ketika orang mengkritisi pembelian kapal tampomas yang penuh intri/persoalan atau mengkritik kepemimpinan Soeharto tentu akan dibredel. Tidak ada sebuah rule of law untuk mengupayakan benar atau salah pemerintah saat itu. Biar tidak ada pembuktian hukum, aparat sudah berani menyatakan adanya pencemaran nama baik Presiden. · Acapkali terjadi kesalahan yang dilakukan oleh suatu departemen, misalnya ketika dilikuidasi departemen kehutanan dalam masalah reboisasi, maka akan berdalih adanya kesalahan administratif atau kesalahan prosedur. · Pada masa ORBA, tidak ada pembuktian hukum sehingga publik tidak bisa menilai, padalah mestinya kalau terjadi pembuktian hukum publik bisa menilai telah terjadi kesalahan dan sebaliknya jika tidak tentunya akan meningkatkan harkat dan martabat serta kredibilitas pemerintah. |
2. Rotasi kekuasaan | Rotasi kekuasaan maksudnya member peluang terjadinya kekuasaan yang berlangsung secara teratur | · Dalam konteks Negara demokrasi, pergantian kekuasaan daripada penyelenggaraan Negara merupakan hal yang biasa. Ini terjadi masa sekarang, suatu ketika yang berkuasa SBY nanti siapa lagi. Setelah Amandemen UUD 1945 kekuasaan presiden dibatas (pasal 7). Dalam konteks Negara demokrasi, rotasi kekuasaan penuh keniscayaan dan harus diimplementasi. Yang penting dalam pemerintah demokrasi terbangun sistem demokrasi yang baik. Siapa pun yang akan mengisi kekuasaan tidak menjadi masalah. Dalam konteks Negara kita justru sistem itu yang masih keropos. · Dalam masa ORBA rotasi kekuasaan hampir tidak bisa berjalan. Tidak ada nyali untuk mencalonkan selain Pak Harto, seolah-olah hanya dia satu-satunya figure presiden yang pantas. Orang sibuk memikirkan siapa wakil presiden dan ketua DPR mendatang. Tidak ada batasan masa jabatan untuk presiden, sementara untuk level bawah (bupati/walikota/gubernur) dibatasi hanya 2 periode. Untuk level menteri nampaknya hanya itu-itu saja apalagi yang piawai memformulasikan keinginan Pak Harto, seperti Pak Harmoko (hingga 6 periode). Sementara orang yang melenceng dari garis kebijakan Pak Harto, seperti Sarwono Kusumaatmaja, Siswono Yudohusodo berumur tidak lama. |
3. Rekrutment politik yang terbuka | Penyeleksian individu yang mempunyai kapabilitas, populatistas ekseptibilitas, mampu dikenal orang, diterima orang untuk mengisi jabatan- jabatan politik atau dalam pemerintahan | · Rekruitmen yang terjadi pada masa reformasi sudah terbuka artinya siapa pun yang memiliki kapabilitas, popularitas dan aksepbilitas, dapat mengisi jabatan dalam pemerintahan. · Pada masa ORBA, rekruitmen politik bukan rekruitmen yang terbuka, melainkan dibatasi oleh persamaan- persamaan akan datang, hak, golongan, primordialisme, suku, agama, etnis sehingga terbatas sekali untuk menjadi elit politik/ pemerintahan. · Masa ORBA, formulasi MPR adalah 400 di pilih 600 diangkat. Anggota yang 600 diisi oleh figur-figur Pak Harto baik dari ABRI, keluarga pejabat daerah (“istri gubernur”), dan kronik-kroniknya. · Di era reformasi, sekalipun masih ada primordialisme tapi sudah berkurang, kebanyakan orang menjual popularitas (dengan menarik orang terkenal). · Jadi rekruitmen politik bisa berpola terbuka dan tertutup. Seharusnya rekruitmen terbuka yang memberikan kesempatan kepada semua orang yang memiliki kapabilitas, popularitas dan ekseptibilitas dapat menduduki jabatan politik atau pemerintahan. Sementara pada pola tertutup lebih didasarkan pada persamaan darah, almamater, suku, agama, golongan, dan lain-lain. |
4. Pemilu yang teratur | Pemilu diselenggarakan secara berkala atau periodik (teratur) | · Pemilu pertama tahun 1955 dan 1971 masih belum teratur. Mulai 1977 hingga 1997 (akhir masa ORBA) sudah teratur 5 tahunan. · Persoalannya bukan sekedar periodiknya, melainkan sejauh mana pemilu terselenggara atas prinsip jujur dan adil, demokratis yang dii Indonesia dikemas JURDIL dan LUBER · Sulit sekali pada kekuasaan ORBA menerima prinsip jujur dan adil. Keinginan PPP untuk mengusung prinsip jujur dan adil dalam pembicaraan UU pemilu selalu ditolak, karena sudah dikemas dalam LUBER. Kenyataannya tidak demikian, jujur dan adil tidak diakomodir. · Pemilu di Indonesia bukanlah pemilu demokratis karena tangan-tangan birokrasi menggurita untuk memenangkan ORBA. Golkar dianggap partainya pemerintah. · Dalam reformasi, partai demokrat buka partai yang memerintah karena bukan yang dominan. Apalagi pemilihan presiden secara langsung (terpisah dari pemilu legislatif) · Dalam sistem kepartaian kita di era ORBA, dikenal partai hegemonis party system. Partai politik diijinkan untuk berkompetisi tetapi tidak berkompetisi secara terbuka. Silahkan PPP dan PDI ikut pemilu tapi jangan coba-coba memenangkan pemilu. Silahkan berkampanye tetapi jangan di areanya Golkar. Ini cara orde baru untuk mengisolasi kita dari kehidupan politik. Kita tidak memiliki preperensi politik yang jelas karena kita bisa dimobilisasi seketika dengan tema pembangunan. · Ketika pemilu 1999 digelar (masa transisi), terjadi perubahan, kita benar- bisa menikmati pemilu yang lebih jurdil dan luber. Bagaimana pun di era reformasi pemilu diselenggarakan lebih demokratis dibandingkan masa ORBA karena masyarakat sudah mulai bebas dalam memilih. Para elit politik juga sudah menunjukkan adanya sedikit kedewasaan dalam berpolitik |
5. Jaminan atas hak-hak dasar warganegara | Dalam Negara demokratis ada jaminan dalam hak asasi manusia. Warganegara memiliki kebebasan untuk berekpresi, berpolitik. | · Secara hukum, sudah diatur dalam UUD mulai pasal 27 ayat 1 sampai 34. Dalam UUD 45 Amandemen, hak asasi manusia ditambah dimasukkan pada pasal yang ada terutama pada pasal 28 (28A s.d. 28j). · Dalam prakteknya, pada masa ORBA warga kurang memiliki kebebasan. Jaminan terhadap hak asasi manusia jauh dari terlaksana, malah yang terjadi banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM oleh pemerintah terutama berkaitan dengan kebebasan berpolitik. Dominasi pemerintah yang terlalu kuat dan cenderung otoriter menjadikan hak warganegara untuk mengemukakan pendapat, berorganisasi (politik) menjadi lemah. Ditambah lagi penegakkan hukum kurang berjalan, sehingga kasus-kasus hukum lebih banyak dicampuri oleh politik / penyelesaian secara politik. · Di era reformasi, hak-hak warganegara dalam berpolitik lebih baik, dalam arti sudah mulai terimplementasi dalam konteks Negara kita misalnya dalam politik/ pemerintahan. |
0 komentar:
Posting Komentar